Luka dari Leila

Oleh: Senjakala Adirata

 

Aku lelah. Lelah saat istirahat membaca ketebalan Pulang garapan Leila. Leila S. Chudori tepatnya. Aku harus mengakui itu. Aku kelelahan untuk istirahat.

Novel itu harus diselesaikan tapi aku tertahan. Aku ingin lelah itu bertahan lebih lama agar aku tak lagi bangkit, membuka mata dan meniti kata per kata milik Leila yang membikinku penuh luka. Aku merasa Leila terlalu yakin pada kekuatan kata dalam kisah-kisahnya, sedangkan aku sering meragu dengan kekuatan kata-kata. Akibatnya aku kelelahan. Mandeg dalam beberapa bab yang menghantamku. Membuat kepalaku berdarah, kakiku ngilu, tanganku lumpuh, suaraku parau dan mataku memanas. Wartawan Tempo itu telah menghancurkan likuran tahun hidupku hanya dalam semalam, dalam Pulang: pada sebuah belukar keluarga.

Pulang seperti dengung nyamuk saat aku ingin terlelap di dusunku yang terpencil. Dengung itu begitu dekat. Dekat sekali sehingga begitu mengganggu. Tapi saat dengung itu tak jua menjauh dan aku emosi, aku menyabetkan tangan sekuat tenaga untuk mengusirnya. Dengung itu menjauh begitu saja. Seketika. Lebih cepat dari sabetan tangan penuh tenaga. Tapi dia kembali lagi tak berapa lama. Mengganggu lagi, membuat emosi kembali.

 

Sebelumnya, aku sudah membaca Pulang garapan Toha Mochtar. Novel lawas, tak setebal Pulang garapan Leila. Bahkan mungkin jika ketebalannya dibandingkan, 1:10 untuk milik Leila. Meski tipis, garapan Toha Mochtar juga penuh pikat. Memang, dalam tiap bab tak memiliki ledakan seperti milik Leila. Kedahsyatan kisah Toha ada pada keyakinan kata: puitis-liris, cerita sekelebat tapi membabat. Tapi, Pulang garapan Leila? Panjang! Panjang sekali jarak perjalanan itu. Durasi itu begitu lama: durasi sabetan berulang-ulang sebuah parang ke tiap inci kulit, tiap inci pikiran, tiap inci perasaan. Aku tak mau menjadikan Pulang garapan Leila S. Chudori jadi salah satu bacaan favoritku. Aku tak mau! Buku itu memberi jejak luka!

Lalu aku benar-benar istirahat lama. Tak ingin mengingat kisah Pulang garapan Leila. Tiba-tiba, di suatu malam: dalam rasa penasaran untuk mendengar obrolan tentang Haruki Murakami, Leila berdiri di depan pintu mataku. Dengan beberapa puluh ribu yang kumiliki, tanganku begitu saja menyerobot 9 dari Nadira. Juga Malam Terakhir.

Aku tahu, jika beberapa puluh ribu itu kugadaikan pada dua buku cerita tersebut, aku akan kebingungan membeli rokok. Tapi, keyakinan kata yang ada dalam dunia ciptaan Leila, hasrat dan kecanduan untuk dihancurkan kembali oleh Leila, hadir begitu saja. Dua buku cerita selesai dalam dua hari diselingi oleh drama Kertajaya garapan Sanoesi Pane dan In The Shadow of Change, tesis Tineke Hellwig. Suara merdu seorang perempuan juga turut menyela lewat telepon genggam saat aku berada di tengah belantara Malam Terakhir. Lumayan memberi angin pada keringat yang berleleran dalam kelelahan perjalananku pada kalimat-kalimat Leila. Aku terhenti beberapa kali membaca dua buku cerita itu. Seperti dahulu ketika aku membaca Pulang. Dan aku kembali hancur.

Aku bahagia. Aku hancur maka aku bahagia! Dan aku tak akan memasukkan buku Leila S. Chudori dalam bacaan favoritku… Biarpun “Tiba-tiba saja malam menabaraknya” atau “Angin malam berdesir. Membisikkan kata-kata penuh dendam”, aku akan tetap bersama senja yang melilit, bukan bersama cerita-cerita Leila.

Dan…

Pada kalimat-kalimat terakhir dari cerita Leila, pada luka-luka yang kian menganga, Pink berdendang begitu merdunya: Just give me a reason/ Just a little bit enough/ Just a second we’re not broken just bent/ And we can learn to love again…