Kota: Ingatan, Identitas, Ibadah

Oleh: Sejakala Adirata

Jujur saja, saya tidak suka euforia boyband Korea dan berlanjut di Indonesia. Tidak suka bukan berarti membenci. Ketidaksukaanku pada boyband menular tanpa dasar pada produk entertainment keluaran Korea. Seperti misal drama atau film Korea. Lantas saya berpikir ulang, kenapa saya harus tidak suka sedang rasa itu tak berdasar? Hingga kini saya masih tidak bisa suka dengan boyband Korea dan Indonesia, meski sudah berpaksa diri menyuka. Tapi untuk film Korea, ada satu membuat saya menetes air mata, “A Moment to Remember”.

Kisah tentang jalinan cinta lelaki dan perempuan. Si perempuan hilang ingatan akibat penyakit Alzheimer. Kerja penyakit itu, merampas dan menghapus ingatan paling baru lalu merambah ke ingatan lebih lama. Sehingga memori terbaru akan lebih cepat terhapus. Fatal lagi, bahkan ketika parah, si perempuan tak mengenal orang tua dan suaminya dan mengancing baju sendiri pun tak mampu.

Saya kemudian berpikir tentang “ingatan”. Bahwa motivasi hidup manusia adalah ingatan. Bisa juga dibilang sejarah sebab sejarah adalah ingatan. Masa lalu (ingatan,sejarah) adalah kaca. Untuk melihat salah dan luput kita lantas melakukan koreksi buat masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan agar lebih baik. Jika manusia tak punya (kemampuan) ingatan, sebagai kesimpulan sederhana, kehilangan dirinya, identitasnya. Biografi dirinya musnah dan identitasnya kabur. Ini ironis!

Mungkin saja diatas tadi adalah paparan ingatan personal. Tapi menurut Maurice Halbwachs bahwa ingatan manusia pada dasarnya tidak pernah bersifat murni individual, melainkan sudah selalu merupakan proses sosial, atau proses kolektif. Sebab itu ketika kita mengingat sejarah masa lalu kita, ingatan akan bekerja pada kejadian-kejadian sosial dan lingkungan masa lalu. Ingatan masa lalu kita berkaitan dengan ingatan orang lain tentang masa lalu mereka. Ingatan ini bercampur dalam ingatan sosial atau fakta sosial dan berarti juga ingatan kolektif. Ingatan milik bersama.

Cerpen (Hidup) Matinya Kota karya Raudal Tanjung Banua di Jawa Pos 15 Juli 2012 lalu membuat saya miris melihat kondisi saat ini. Dia memaparkan sejarah (ingatan) akan kota-kota di Indonesia. Kota-kota dahulu kala yang menjadi ingatan kolektif bangsa, yang menjadi biografi dan sejarah nusantara, lumat, terpinggirkan bahkan terlupakan. Kota-kota itu kini tergantikan dengan kota-kota baru yang bergerak dengan percepatan atas dasar nalar ekonomistik. Ingatan dan sejarah sebagai produk idealistik non-material tak mudah didapati. Sebab apa? Sebab kita tak pernah mau sadar untuk mencintai memori kebangsaan kita, dan lebih mudah mencitai hal-hal berbau material ekonomistik yang membangun kota saat ini. Gencarnya perkembangan infrastruktur dan menepikan suprastruktur. Dengan bangunan angkuh menusuk langit dan kemajuan yang dibanggakan. Namun, memori kesejarahan tentang kota yang menjadikan kita bergerak menuju kemajuan hilang. Tata dasar kota saat ini sebagai dasarnya adalah sejarah kota sebelumnya. Kota sebelumnya itulah yang memicu kota-kota saat ini tercipta.

Namun, tak ada yang tersisa diantara kita tentang ingatan kota masa lalu. Alasannya kita tak menjalani peristiwa masa lalu itu, hingga akan mudah saja tak mau belajar sejarah dan tak mau mengingat. Pada titik itulah kita sebenarnya kehilangan diri kita. Kita kehilangan sejarah kita. Sama halnya dikata, kita sesungguhnya tak tahu siapa sebenarnya diri kita. Kita sebagai diri adalah kita sebagai kolektivitas. Kita sebagai diri adalah kita sebagai bersama. Sebab itu, kota yang kita miliki saat ini dan melupakan sejarah dan seluk-beluk proses berkembangnya kota-kota lama itu sama artinya kita membunuh diri kita (sebab tak mau belajar dan mengingat). Ini adalah kasus mengerikan. Kasus pembantaian—yang menurut saya—paling akbar masa ini.

Belajar mengingat kota, adalah belajar mengingat diri. Bangunan-bangunan lama (bersejarah) adalah memory material sebagai kenangan refleksi diri. Bahwa kita pernah jaya, bahwa kita pernah dibantai, bahwa kita pernah gagal, bahwa kita pernah (mau) merdeka, bahwa kita pernah ingin mencipta peradaban mulia. Mengingat ingatan (sejarah dan peristiwa kolektif) adalah laku ibadah. Sama halnya kita berdoa ketika sehabis sembahyang untuk kota-kota (di Indonesia dan di Mancanegara) yang masih perang saat ini agar lekas damai. Karena dalam doa kita itu, kita mengucap sendiri-sendiri untuk Tuhan kita. Dan dari doa yang diartikulasikan sendiri-sendiri itu, ada yang bersamaan dengan kita juga mengucap doa yang sama. Maka itu bukan hanya doa personal tapi doa kolektif untuk kedamaian kolektif. Mengingat kota, mengingat ingatan, meneguhkan identitas sebagai laku ibadah. Sekian.